KOTA, Media Ponorogo – Watoe Dhakon group reog IAIN Ponorogo punya kreatifitas yang tinggi pada saat tampil menjadi Festival Nasional Reog Ponorogo (FNRP) XXVIII.
Grup reog Institut Agama Islam Negeri yang dipimpin Dr. Hj. Evi Muafiah, M.Ag itu berhasil tampil memukau di panggung spektakuler Alun-Alun Ponorogo.
Pasalnya, reog Watoe Dhakon pada akhir pentas sempat menyelipkan syair Syubbanul Wathon yang merupakan karya KH Abdul Wahab Chasbullah, salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama.
Tentu saja atraksi ini berhasil memukau ribuan pasang mata. Tampak riuh tepuk tangan mengiringi selama pentas ini.
Pun, para penari reyog yang terdiri dari mahasiswa IAIN Ponorogo berhasil menampilkan dan mementaskan tarian Reyog Ponorogo dengan sangat baik.
Perpaduan Jathil, Warok, Bujang Ganong, Klono Sewandono dan Barongan Dadak Merak Reyog menyatu dan disuguhkan dalam sebuah pentas tarian Reyog.
Tak hanya piawai dalam memainkan geraknya, pentas ini juga berisi cerita Reyog Ponorogo.
Suatu kebanggaan IAIN Ponorogo dalam hal ini Unit Kegiatan Mahasiswa Paguyuban Seni Reyog Mahasiswa Watoe Dhakon (UKM PSRM Watoe Dhakon) dapat tampil, berkontribusi, dan belomba pada ajang bergengsi ini.
Ini merupakan perwujudan rasa cinta dan aksi nyata dalam melestarikan kesenian tradisi adiluhung, dalam hal ini Reyog Ponorogo.
IAIN Ponorogo sebagai salah satu Kampus di Ponorogo berperan aktif dalam mengembangkan keilmuan agama sekaligus melestarikan kesenian. Melalui keikutsertaan pada Festival ini juga merupakan perwujudan rasa cinta kepada Tanah Air.
Kreativitas IAIN Ponorogo dalam FNRP pada Jumat (14/7/2023) malam ini patut diapresiasi.
‘’Persaingan antar peserta semakin ketat dari sisi garap tari, musik, tata busana, maupun koreografinya. Benar-benar di luar ekspetasi kita,’’ kata Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora) Ponorogo Judha Slamet Sarwo Edi.
Menurut dia, FNRP bertujuan mempertahankan kesenian asli Ponorogo sehingga tidak ada pembatasan kreativitas seniman.
Dalam festival reog tidak mengenal pakem meskipun terdapat acuan yang tertuang dalam Buku Panduan Dasar Pertunjukan Reog Ponorogo. Judha menilai beragam kreasi yang ditampilkan di FNRP masih dalam koridor wirogo, wiroso, dan wiromo Ponoragan.
‘’Kita tidak boleh terjebak dalam pakem. Substansi pakem itu apa, kita perlu duduk bersama,’’ jelasnya.
Judha juga sempat membahas penampilan grup reog dari IAIN Ponorogo yang menyelipkan lirik bernuansa Islami. Itu membuktikan bahwa reog berkembang dalam wilayah manapun dan siapapun berhak berkreativitas asalkan tidak menambahkan instrumen lainnya.
‘’Penampilan grup dari IAIN bisa dikatakan reog santri. Sah-sah saja karena mereka tumbuh di ekosistem santri sehingga terjadi kolaborasi saat iring-iring (penutupan) ada syair bernuansa Islami,” terangnya.
Tatkala Reog Ponorogo terinskripsi sebagai warisan budaya tak benda (WBTb) di United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), maka akan terjadi perkembangan pesat.
Seniman dari berbagai belahan dunia bakal mengkreasi reog dengan tidak meninggalkan seni tradisinya.
‘’Ketika sudah terdaftar di UNESCO, tidak perlu lagi terjadi perdebatan kalau ada yang memberi sentuhan inovasi terhadap reog,’’ ungkap Judha.
Masih kata dia, hanya ada batasan tipis antara kreativitas dan originalitas. Terjadi akulturasi saat reog dimainkan di Belanda, Amerika, atau daerah lainnya di Indonesia.
‘’Tentu di sana ada perpaduan dua budaya pada tempat reog itu berkembang. Tidak membatasi seniman dalam berkreativitas tetapi harus berpedoman pada Buku Panduan Dasar Pertunjukan Reog Ponorogo,’’ pungkasnya. (min/mas)