Home Headline KECENDERUNGAN PILKADA CALON TUNGGAL

KECENDERUNGAN PILKADA CALON TUNGGAL

0

Sebagai otokritik kita terhadap kekuasaan Soeharto dimasa orde baru adalah lahirnya pemilihan presiden, Gubernur dan Bupati secara langsung dan pembatasan masa jabatan hanya 2 Periode.

Pesan yang tersurat dan tersirat dari fenomena itu agar lahirnya kehidupan demokrasi yg sehat dan berkualitas. Pertama, sistem tersebut memberi peluang siapapun kader terbaik bangsa ini menjadi pemimpin.

Kedua, dengan sistem pembatasan kekuasaan 2 periode supaya terhindar lahirnya pemimpin yg otoriter dan korup.

Ketiga, konsekuensi lain adalah lahir kompetisi yang sehat dalam politik. Dengan munculnya banyak calon bisa memberi alternatif/ pilihan bagi pemilih.

Namun akhir-akhir ini adanya kecenderungan kuat wacana untuk menyelenggarakan pilkada calon tunggal, termasuk di Ponorogo.

Menurut penulis karena faktor *high cost politics*, baik dalam pilkada maupun pileg.
Konskuensi pileg dengan biaya tinggi melahirkan perilaku politisi yang pragmatis. Tidak berani ambil resiko. Tidak berani keluar dari zona aman. Berpikir instan. Yang jelas memberikan hasil.

Konskuensi pileg dengan biaya tinggi melahirkan perilaku politisi yang pragmatis. Tidak berani ambil resiko. Tidak berani keluar dari zona aman. Berpikir instan. Yang penting dapat dan hasil.

Tidak berpikir oleh mereka pemimpin yang kapabel dan berintegritas. Tahunya pulihan. Uang kembali. Uang yang dikeluarkan untuk pileg.

Konsekuensi pilkada dengan biaya tinggi juga melahirkan perilaku calon yang lebih perhitungan. Hanya orang gila (tidak rasional) yang berani ikut kompetisi dalam pilkada. Tidak imbang (cucuk) antara biaya yang dikeluarkan dan kompensasi yang diterima. Jika hitungannya tidak menang. Sekalian tidak. Itu yang menghantui penantang.

Konsekuensi pilkada biaya tinggi (high cost politics). Bagi petahana tidak berani mengambil resiko sekecil apapun. Berusaha menyingkirkan penantang, terlepas bobot dan kualitasnya. Termasuk memborong semua tiket politik. Dari situlah wacana menguatnya pilkada calon tunggal atau bumbung kosong.

Jadi pilkada calon tunggal atau bumbung kosong disamping mengesampingkan semangat demokrasi. Juga karena konsekuensi pragmatisme politik.

Oleh: Muhamad Fajar Pramono, _Dosen UNIDA Gontor

Wallahu A’lam

Cokromenggalan, Senin, 20 Juli 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here