PONOROGO, (MP) – Fakultas Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Ponorogo bekerjasama dengan pemuda muhammadiyah bidang seni budaya dan olahraga menyelenggarakan bedah buku berjudul Seni Reyog Ponorogo: Sejarah, Nilai dan Dinamika dari Waktu ke Waktu karya Drs. Rido Kurnianto,M.Ag, Sabtu (16/9/2017).
Bedah buku yang digelar di gedung Korpri Kabupaten Ponorogo ini menghadirkan empat pemateri yang kompeten di bidangnya. Yakni Drs.Rido Kurniato,M.Ag selaku penulis, Dr. Nursilah,M.Si dosen UNJ dan Drs.Bambang Wibisono dari Dinas Pariwisata dengan moderator Drs. Jusuf Harsono, M.Si.
Bedah buku sejarah reyog ini rupanya menarik perhatian sejumlah tokoh reyog. Seperti sesepuh Warog dari Plunturan Mbah Bikan Gondowiyono dan Mbah Ahmad Tobroni Turedjo dari Bantarangin Sumoroto. Acara juga dihadiri sekolah pelestari reyog, peserta festival nasional reyog ponorogo maupun mahasiswa Unmuh Ponorogo.
Alif Sugianto, M.Si Ketua panitia mengatakan buku karya Drs Rido Kurnianto ini merupakan hasil kristalisasi puluhan tahun menggeluti penelitian di bidang seni reyog Ponorogo. “Ini merupakan karya yang fenomenal di dunia reyog Ponorogo,” ungkapnya.
Menurutnya, penelitian tentang reyog di Ponorogo masih jarang dan karya ini selayaknya disyukuri. “Dengan bedah buku ini semoga kita bisa mengambil nilai dan meningkatkan perkembangan seni budaya reyog Ponorogo,” terangnya.
Drs. Rido Kurnianto, M.Ag sang penulis mengaku bersyukur bisa menerbitkan buku hasil penelitiannya yang dilakukan sejak 1997. Dipaparkannya, pada BAB pertama buku ini mengungkapkan bahwa reyog merupakan identitas Ponorogo. “Jadi reyog sudah sudah menjadi branding Ponorogo,” ungkapnya.
Dalam bab ini Rido juga meluruskan sejumlah stigma negatif yang dialamatkan kepada reyog. Seperti yang menyebut reyog ponorogo itu menyeramkam. Juga kesan reyog sebagai seni yang akrab dengan mabuk-mabukan. “Saya luruskan kalau ada yang mabuk itu adalah oknum, kalau alasan mabuk untuk menguatkan tampilan pentas saya ungkap bahwa reyog mengandalkan latihan,” sebutnya.
Selain itu Rido juga meluruskan bahwa seni reyog dinilai sebagai seni mistik. “Ritual mistik memang ada tetapi mendefinisikan orang Ponorogo ahli mistik dan mudah menjampi orang itu tidak benar,” sebutnya.
Buku ini juga meluruskan adanya stigma warok yang identik dengan tradisi homo seksual. “Saya luruskan, gemblak itu dibina oleh warok dan bisa mengangkat derajat gemblak, adapun yang seperti itu adalah oknum saja tapi jangan digeneralisir,” paparnya.
Menariknya di BAB 2 pembaca bisa menyimak sejarah reyog Ponorogo yang bisa berkembang menjadi 7 versi. Masing-masing versi disajikan pada konteknya masing-masing, tidak pada perseteruannya. “Kita harus bangga banyak versi karena bisa diambil nilai luhurnya,”sebutnya.
Tak kalah menariknya yakni pada bab 4 dan 5 yang berisi nilai dan makna simbol Reyog Ponorogo. “Jadi untuk peralatan reyog sudah dibakukan di buku kuning tentang pedoman reyog ponorogo sudah diwariskan tokoh warok ponorogo. Itu sudah baku tidak ada tambahan, kalau tambahan pasti salah, misal saat festival nambah kendang, kendangnya ponoragan kalau kendang jaipongan salah besar,” sebutnya. (asr)