Oleh: Dr. Hadi Cahyono, M.Pd, Fifi Arisanti, Laela Rosidha, Aris Dianto, Istiroah Ida
Magister Pedagogi UMPO
PENDIDIKAN tinggi telah lama menjadi simbol kebanggaan bagi individu maupun keluarga. Gelar akademik dianggap sebagai tolok ukur keberhasilan dan jalan menuju kehidupan yang lebih baik.
Namun, di era globalisasi dan teknologi yang terus berkembang, gelar akademik saja tidak lagi cukup untuk menjamin keberhasilan lulusan dalam dunia kerja. Kompetensi nyata menjadi kebutuhan utama yang semakin mendesak.
Di Indonesia, pendidikan tinggi terus mengalami peningkatan dalam hal jumlah institusi dan lulusan. Perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, berlomba-lomba mencetak lebih banyak sarjana.
Namun, peningkatan kuantitas ini sering kali tidak diiringi dengan kualitas yang memadai, sehingga banyak lulusan yang kurang siap menghadapi tantangan dunia kerja.
Salah satu permasalahan utama adalah kesenjangan antara apa yang diajarkan di perguruan tinggi dan kebutuhan pasar kerja.
Banyak lulusan perguruan tinggi yang memiliki teori akademik yang kuat tetapi kurang memiliki keterampilan praktis yang relevan. Akibatnya, mereka kesulitan bersaing di pasar kerja yang semakin kompetitif.
Revolusi industri 4.0 dan era digitalisasi telah mengubah dinamika dunia kerja secara signifikan.
Keterampilan seperti pemrograman, analisis data, dan komunikasi lintas budaya kini menjadi kebutuhan utama.
Namun, banyak perguruan tinggi belum mampu mengadaptasi kurikulum mereka untuk memenuhi kebutuhan ini, sehingga lulusan mereka sering kali tertinggal dibandingkan lulusan dari negara lain.
Di sisi lain, tekanan untuk meningkatkan angka kelulusan sering kali membuat perguruan tinggi lebih fokus pada target kuantitatif daripada memastikan kompetensi lulusannya.
Fenomena ini menciptakan lulusan yang memiliki gelar tetapi kurang memiliki kompetensi yang dapat diandalkan di dunia kerja.
Gelar akademik memang penting, tetapi tanpa didukung oleh kompetensi nyata, lulusan perguruan tinggi berisiko menjadi pengangguran terdidik.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka di kalangan lulusan perguruan tinggi masih cukup tinggi, menunjukkan adanya masalah serius dalam sistem pendidikan tinggi kita.
Di tingkat internasional, peringkat universitas sering kali menjadi perhatian utama dalam menilai kualitas pendidikan tinggi.
Namun, fokus pada peringkat sering kali tidak mencerminkan kualitas pembelajaran dan relevansi kurikulum terhadap kebutuhan global.
Perguruan tinggi perlu melihat lebih jauh daripada sekadar angka peringkat untuk menciptakan lulusan yang benar-benar kompeten.
Selain itu, ada pula tantangan dalam menciptakan kesetaraan kualitas pendidikan tinggi di seluruh wilayah Indonesia. Perguruan tinggi di daerah terpencil sering kali menghadapi kendala dalam hal tenaga pengajar, fasilitas, dan akses terhadap teknologi. Ketimpangan ini semakin memperlebar jurang antara lulusan dari wilayah perkotaan dan pedesaan.
Salah satu solusi untuk menjembatani kesenjangan ini adalah melalui kolaborasi antara perguruan tinggi dan industri.
Kemitraan ini dapat membantu menciptakan kurikulum yang lebih relevan dengan kebutuhan dunia kerja, memberikan mahasiswa kesempatan untuk mendapatkan pengalaman praktis sebelum mereka lulus.
Teknologi juga dapat menjadi alat yang ampuh untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi. Pembelajaran daring, penggunaan kecerdasan buatan, dan platform pembelajaran digital dapat membantu perguruan tinggi memberikan pendidikan yang lebih inklusif dan relevan tanpa mengorbankan kualitas.
Kebijakan pemerintah juga memainkan peran penting dalam memastikan keseimbangan antara gelar akademik dan kompetensi nyata.
Beasiswa, program magang, dan insentif bagi perguruan tinggi yang berfokus pada pengembangan keterampilan praktis dapat menjadi langkah strategis untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi.
Pendidikan karakter juga tidak boleh diabaikan. Di tengah perkembangan teknologi dan persaingan global, lulusan yang memiliki etika, integritas, dan rasa tanggung jawab sosial akan memiliki keunggulan tersendiri.
Perguruan tinggi harus menjadi tempat di mana mahasiswa tidak hanya belajar pengetahuan teknis, tetapi juga nilai-nilai kehidupan.
Dalam menghadapi persimpangan ini, perguruan tinggi harus berani melakukan transformasi yang mendasar.
Fokus harus bergeser dari sekadar mencetak lulusan dalam jumlah besar ke menciptakan lulusan yang benar-benar berkualitas dan siap menghadapi tantangan zaman.
Perguruan tinggi juga perlu menjadikan mahasiswa sebagai pusat dari setiap kebijakan dan inovasi yang dilakukan. Mendengarkan aspirasi mahasiswa dan melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan dapat membantu menciptakan pendidikan tinggi yang lebih relevan dan adaptif.
Pada akhirnya, gelar akademik adalah simbol, tetapi kompetensi nyata adalah substansinya. Pendidikan tinggi yang ideal adalah yang mampu memberikan keduanya secara seimbang.
Dengan langkah-langkah strategis dan kolaborasi antara berbagai pihak, pendidikan tinggi dapat menjadi motor penggerak pembangunan sumber daya manusia yang unggul dan berdaya saing global. (***)