Home Headline Tekan Perceraian TKI, DPRD Ponorogo Libatkan Peran Kepala Desa

Tekan Perceraian TKI, DPRD Ponorogo Libatkan Peran Kepala Desa

0

PONOROGO – Makin tingginya angka perceraian pekerja migran indonesia di Kota Reyog memantik perhatian wakil rakyat.

DPRD Kabupaten Ponorogo di bawah nakhoda Sunarto merespon cepat terhadap sejumlah persoalan yang dihadapi para Pekerja Migran dan keluarganya di Kabupaten Ponorogo.

Terbukti, DPRD bersama sejumlah intansi terkait menggelar rapat gabungan menyangkut Perlindungan TKI dan Keluarganya di Gedung Sasana Praja Ponorogo, Rabu (19/2/2020).

Sosialisasi dilakukan bersama Pengadilan Agama Ponorogo yang diikuti seluruh Kepala Desa/Kelurahan se-Kabupaten Ponorogo.

Ketua DPRD Ponorogo Sunarto mengatakan sosialisasi tersebut merupakan respon atas permasalahan yang dihadapi masyarakat.

“Ini ijtihad kita, saya dan kawan-kawan di DPRD untuk menekan angka perceraian. Karena dampaknya luas keluarga dan terutama anak,” ungkap Sunarto.

Sunarto S.Pd Ketua DPRD Ponorogo

Diantaranya dengan melibatkan peran aktif pemerintah di desa atau kelurahan. Yakni dengan penambahan syarat membuat surat pernyataan bagi pekerja migran untuk tidak bercerai selama bekerja di luar negeri.

Sunarto juga menolak apabila perjanjian itu terkesan diskriminasi karena akan mengikat kedua belah pihak.

Sebab, perjanjian tanpa memandang gender karena yang bekerja di luar negeri tidak hanya pihak perempuan namun bisa juga laki-laki.

“Bagi teman-temen DPRD ini kan adalah upaya. Upaya DPRD kepada masyarakat dalam rangka memproteksi mengurangi perceraian. Yang penting Ikhtiar kita tidak melanggar peraturan dan tidak melanggar HAM,” kata Sunarto.

Seperti diketahui kabupaten Ponorogo menduduki peringkat ke-19 angka perceraiain se-Provinsi Jawa Timur atau tertinggi di wilayah eks Karesidenan Madiun.

“Angka itu terbilang tinggi dengan prosentase jumlah penduduk kabupaten Ponorogo yang tidak besar dibanding daerah lain,” sebut Sunarto.

Sementara itu, Ketua Pengadilan Agama Ponorogo Asrofi dalam kesempatan tersebut memaparkan dari 2069 kasus perceraian di Ponorogo tahun 2019 memang didominasi oleh cerai gugat oleh pihak istri daripada cerai talak dari pihak suami.

Namun ia tak sependapat apabila buruh migran dikatakan mendominasi dari angka tersebut.

Karena cerai gugat pekerja migran yang dilayangkan dari luar negeri menurut asrofi hanya berjumlah 21 persen, atau 451 kasus saja.

Lantas apakah artinya cerai gugat kemudian dilakukan oleh para eks pekerja migran sekembalinya ke tanah air? Asrofi menilai itu urusan lain dan perlu pengkajian.

Namun meskipun cerai yang dilayangkan dari luar negeri berjumlah 21 persen Asrofi tetap berharap hal itu tidak terjadi.

Permasalan utama yang dihadapi sekarang menurutnya ialah upaya memediasi atau menghadirkan kedua belah pihak tanpa perwakilan.

Karena putusan cerai atau kegagalan mediasi lebih banyak disebabkan faktor ketidakhadiran kedua belah pihak.

“Delapan puluh persen orang bercerai itu pihak penggungat dan tergugat nya tidak hadir di persidangan. Perceraian yang diluar negeri itu 451 atau sekitar 21-22 persen,” sebutnya.

“Sementara cerai talak laki-laki memang tidak lebih 10 persen, sedangkan cerai gugat 90 persen. Dari pekerja migran mana saja, nah Hongkong lah yang tertinggi,” pungkas Asrofi. (advertorial/as)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here