Oleh: Kokoh Prio Utomo (Ketua Forum Ngeritisi Kebijakan Publik Indonesia (Ngekepi)
PERJALANAN otonomi daerah selama 23 tahun terakhir ini dirasakan bandul pergerakannya tidak mengarah ke desentraisasi melainkan justru sebaliknya yaitu semakin mengarah ke bentuk sentralisasi.
Hal ini ditunjukan dengan semakin sempitnya ruang gerak pemerintah daerah dalam mengelola dana perimbangan keuangan dari pemerintah pusat.
Slot dana perimbangan keuangan sudah ditentukan alokasi penggunannya oleh pemerintah pusat dengan berbagai macam bentuk alokasi, seperti earmark sector pendidikan, kesehatan, infrastruktur yang seharusnya ini Dana Alokasi Umum (DAU) tetapi sudah dikunci alokasi penggunaannya untuk slot belanja khusus, nah ini oleh pemerintah pusat disebut dengan istilah DAU Khusus.
Agak aneh terdengar di telinga istilah ini, disebut DAU tetapi ada Khususnya.Merespon kondisi seperti ini, mau tidak mau pemerintah daerah harus kreatif menggali sumber-sumber pembiayaan (Creative Financing) melalui pertama, menaikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) karena hanya dengan PAD lah Pemda bisa leluasa mengalokasikan belanja pembangunan sesuai prioritas daerahnya masing-masing. Kedua, sesuai dengan tujuan filosofis UU No 1/2022 tentang HKPD adalah mengarahkan Pemda untuk mencari sumber-sumber pembiayaan melalui skema kerja sama investasi sehingga dengan optimasi PAD dan investasi yang masuk tingkat kemandirian fiscal daerah bisa naik alias tidak tergantung pada alokasi dana perimbangan dari pemerintah pusat.
Tidak mudah memang mengarahkan Pemda untuk menggali sumber-sumber pembiayaan melalui peningkatan PAD dan investasi karena mindset sebagian besar Pemda di Indonesia selama ini mengantungkan diri pada dana perimbangan tetapi hal tersebut bukan sesuatu hal yang mustahil untuk dilakukan. Mengubah mindset ujung tombaknya adalah pada visi kepemimpinan kepala daerah atau Bupati.
Pemda yang berhasil di era otonomi kedepan adalah Pemda yang kreatif menggali sumber-sumber pembiayaan dan keuangan, Pemda yang kreatif menggali sumber-sumber pembiayaan dan keuangan adalah adalah Pemda yang memiliki Bupati yang kreatif.
Beberapa waktu yang lalu penulis sempat iseng-iseng googling mengenai inovasi Bupati-bupati di Indonesia dalam upaya menaikan PAD, ternyata muncul berita yang cukup mencengangkan yaitu Bupati Ponorogo Sugiri menargetkan Ponorogo PAD sebesar 1 Triliun dalam 5 tahun. Ini sangat wow dan fantastis, pikiran penulis langsung melayang-layang bertanya-tanya apa yang bisa digerakkan oleh Pemkab Ponorogo dengan potensi sector pertanian dan pariwisata dalam mencapai target PAD 1 Trilyun tersebut? Sekali lagi tidak ada yang tidak mungkin.
Dalam artikel ini penulis mencoba untuk menyampaikan 2 hal, pertama yaitu menganalisis pernyataan Bupati Sugiri di media tersebut dari perspektif teori wacana kritis (Critical Discourse Analysis) Michele Foucault dan kedua upaya-upaya yang bisa dilakukan Pemda dalam implementasi Creative Financing.
Dengan posisi geografis Ponorogo yang bisa kita sebut kurang strategis secara geo-ekonomi karena tidak dilewati jalur transportasi penghubung utama (tidak dilalui jalan tol) dan dengan sector andalan hanya di sector pertanian dan pariwisata rasanya akan sangat sulit mengenjot capaian PAD 1 trilun dalam 5 tahun.
Di lain sisi rasanya tidak mungkin seorang Bupati hanya berstatemen tanpa dasar dan pertimbangan yang matang. Akhirnya penulis mencoba memahami sesuatu dibalik statemen tersebut. Pernyataan Bupati Sugiri kalau dianalisis dari perspektif Teori Wacana Kritis mengartikan bahwa statemen ini adalah suatu visi, suatu gagasan, suatu ajakan untuk seluruh elemen di Ponorogo mulai birokrasi, parlemen, dunia usaha, masyarakat luas untuk bergerak, berkolaborasi, bersinergi bersama-sama seluruh unsur masyarakat dan pemerintahan untuk menciptakan suasana atau atmosfir di langit Ponorogo dalam meningkatkan PAD menuju capaian PAD 1 Trilyun.
Visi yang digelorasikan ini harus mampu disambut jajaran birokrasi khususnya dinas-dinas penghasil PAD melalui kerja-kerja teknis aplikatif. Bagian ini langsung melanjutkan hal kedua yaitu upaya-upaya dalam menjalankan Creative Financing bagi birokrasi di Ponorogo. Upaya-upaya Creative Financing bisa dilakukan yaitu Bupati Sugiri harus membentuk tim khusus dari multi sector OPD yang secara khusus bertugas mengawal capaian PAD 1 trilyun. Tim ini bertugas mulai dari penyusunan perencanaan, implementasi sampai monitoring dan evaluasi capaian PAD.
Perencanaan capaian PAD dilakukan dengan penghitungan-penghitungan potensi pajak dan retribusi, tetapi pengitungan potensi ini tentunya akan menemui titik optimum, nah ketika titik optimum tersebut belum mampu mencapai 1 trilyun maka harus dilakukan inovasi variable potensi pendapatan yang lain yang masih ada potensi dinaikan yaitu berupa pemanfaatan asset. Pasti masih banyak asset-aset pemerintah daerah baik berupa tanah, gedung dan bangunan, mesin dll yang idle yang bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan PAD.
Pemanfaatan asset melalui skema kerja sama dengan swasta atau dikelola sendiri oleh Pemkab Ponorogo tentunya tidak ada limit atau batasan titik optimum dalam menghasilkan PAD. Perlu dilakukan identifikasi asset-aset daerah kemudian disusun dokumen perencanaan pemanfaatannya yang feasible, dokumen perencanaan tersebut tentunya harus ditawarkan kepada investor atau jikalau APBD mencukupi bisa dibangun sendiri melalui anggaran Pemkab. Tim khusus ini juga bertugas mengawal perencanaan investasi tersebut dan membawa investasi masuk ke Ponorogo.
Selain mengupayakan investasi dari sector swasta masuk, tim khusus ini juga bertugas mengupayakan mengakses sumber-sumber pembiayaan dari pemerintah pusat atau dari APBN. Banyak peluang-peluang pendanaan dan pembiayaan dari pemerintah pusat untuk pembangunan proyek daerah. Sepanjang dokumen perencanaannya feasible dan bagus maka tidak menutup kemungkinan APBN akan masuk untuk membiayai proyek daerah tersebut.
Semoga Creative Financing bisa diimplementasikan di Ponorogo dan visi besar Bupati Sugiri bisa terwujud. (***)