KOTA, Media Ponorogo – Seniman senior Ponorogo Sudirman menyayangkan dengan aksi seorang mahasiswa asal Kediri yang menyebut Monumen Reog dan Museum Peradaban Ponorogo (MRMP) sebagai “Patung Kucing”.
Pun, pernyataan yang dinilai provokatif saat acara panggung rakyat ini memantik kemarahan warga Ponorogo, Jumat (30/5/2025).
“Jangan asal bicara. Seyogjanya, orang luar Ponorogo belajar dan mencari informasi yang valid sebelum menyatakan sikap,” tegas Sudirman.
“Monumen itu bukan murni ide pejabat pemerintah, melainkan wujud inspirasi masyarakat Ponorogo. Ini adalah kebanggaan kami, khususnya Jawa Timur dan Indonesia secara umum,” tegasnya.
Menurutnya, tidak semua daerah punya identitas sefenomenal Reog Ponorogo. “Bisa dihitung dengan jari,” paparnya.
Sudirman menekankan pentingnya pemahaman dan penghormatan terhadap budaya lokal.
“Jika ada yang tersinggung dengan satire ‘kucing’ yang berkonotasi negatif, itu wajar. Ini menyangkut harga diri dan kebanggaan masyarakat Ponorogo,” tegasnya.
Ia juga menyayangkan, seorang komika harusnya memberikan edukasi yang baik di era informasi yang bebas kebablasan ini.
“Masyarakat perlu edukasi yang baik agar suasana tetap kondusif. Jangan hanya karena likes dan dislikes, kemudian melontarkan statement yang jauh dari relevansi,” tambahnya.
Menurut Sudirman, kritik boleh saja disampaikan, namun haruslah proporsional dan konstruktif.
“Kritik atau masukan itu baik, untuk evaluasi, tapi harus edukatif dan relevan. Pokoknya yang berimbanglah. Jangan sampai malah menimbulkan keresahan dan perpecahan,” jelasnya.
Ia juga mengajak semua pihak untuk melihat Monumen Reog sebagai karya besar yang membawa manfaat besar pula dari berbagai macam segi dan lini.
“Lihatlah karya besar yang akan membawa manfaat besar pula dari berbagai macam segi dan lini. Misalnya Ekonomi, pelestarian, destinasi baru, dan sisi positif yang lain,” tandasnya.
“Monumen ini ide gagasan kreatif yang perlu kita support. Jangan melihat penguasanya, tapi lihatlah karya besarnya,” tegasnya.
Sudirman berharap kejadian ini menjadi pembelajaran bagi semua pihak untuk lebih bijak dan bertanggung jawab dalam menyampaikan pendapat.
“Mari kita jaga kondusivitas dan menghormati budaya lokal. Reog Ponorogo adalah warisan budaya yang sudah diakui UNESCO yang harus kita lestarikan bersama,” tutupnya.
Kejadian ini bermula dari aksi yang dikemas dengan konsep panggung rakyat.
Awalnya berlangsung kondusif, namun lelucon kontroversial tersebut langsung memantik amarah warga yang tengah berkumpul di Alun-Alun Ponorogo.
Kericuhan pun tak terhindarkan, hingga akhirnya polisi harus turun tangan mengamankan komika tersebut.
Aang Patianto, salah satu perwakilan warga, mengungkapkan rasa tersinggungnya atas pernyataan tersebut.
“Kami tersinggung. Monumen Reog adalah kebanggaan Ponorogo, kok dibilang monumen kucing? Itu sangat merendahkan,” ujarnya.
Ia juga menyoroti tidak adanya izin dan sifat provokatif dari aksi tersebut.
Menanggapi kemarahan warga, perwakilan mahasiswa akhirnya menyampaikan permintaan maaf secara terbuka.
Permintaan maaf ini kemudian meredakan situasi dan warga membubarkan diri dengan tertib.
Kejadian ini menjadi pengingat pentingnya menghargai budaya lokal dan bijak dalam menyampaikan kritik.
Sudirman berharap kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak untuk lebih menghargai budaya dan kearifan lokal.
Ia juga mengajak semua pihak untuk mendukung pelestarian budaya Reog Ponorogo dan pengembangan MRMP sebagai destinasi wisata dan pusat pelestarian budaya. (mas)