KOTA, Media Ponorogo – Guru Besar kembali lahir di IAIN Ponorogo. Prof. Dr. H. Luthfi Hadi Aminuddin, M.Ag berhasil meraih gelar tertinggi akademik dalam bidang ilmu hukum Islam.
Pengukuhan gelar profesor ini sangat pantas bagi Dr. KH. Luthfi Hadi Aminuddin, M.Ag, yang juga menjabat sebagai Dekan Fakultas Ekonomi & Bisnis Islam (FEBI), pada Sabtu (2/3/2024).
Pasalnya, profesor kelahiran Jum’at 14 Juni 1972 di Desa Bareng Kecamatan Babadan Kabupaten Ponorogo ini dikenal sebagai kyai sekaligus akademisi yang cerdas dan humoris.
Ketika remaja, selain mengikuti pendidikan formal, Luthfi juga sempat menimba ilmu di Pondok Pesantren Darul Huda Mayak Tonatan Ponorogo.
Tidak banyak yang tahu bahwa inspirasi di balik kesuksesan Prof. Luthfi ini adalah sosok kyai terkemuka, Bahaudin Nursalim atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gus Baha’, yang merupakan ahli dalam bidang fiqih dan tafsir.
Hal ini terbukti dalam orasi ilmiahnya, Prof. Luthfi mengangkat judul “Membaca Turots Secara Produktif: Nalar Fikih KH Bahaudin Nursalim dalam Menjawab Al Masail Al Fiqhiyah”.
“Dalam orasi ilmiah ini, saya membaca sosok Gus Baha’ sebagai seorang kyai yang memiliki nalar fikih yang luar biasa dan mampu menjawab permasalahan-permasalahan fikih yang sering muncul,” ungkap Prof. Luthfi.
Prof. Luthfi, yang juga menjabat sebagai Sekretaris PCNU Ponorogo, menjelaskan bahwa kitab kuning atau yang sering disebut sebagai turots, berisi banyak pendapat para ulama dan didekati oleh dua kelompok yang berbeda.
Kelompok pertama adalah mereka yang mengagungkan pendapat-pendapat ulama dalam kitab kuning tanpa mempertimbangkan konteks saat ini.
“Pokoke mati urip kudu kitab kuning. Biasanya dalam tradisi keilmuwan disebut kelompok tradisional,” ungkapnya.
Sementara itu, kelompok kedua adalah mereka yang menolak kitab kuning karena dianggap sudah tidak relevan lagi.
“Kelompok ini sering disebut sebagai kelompok liberal yang melihat kitab kuning sebagai peninggalan masa lalu yang sudah kehilangan relevansinya,” tambahnya.
Prof. Luthfi menilai bahwa Gus Baha’ berada di tengah-tengah kedua kelompok tersebut dan mencoba mencapai keseimbangan antara tradisionalisme dan liberalisme.
“Saya sangat mengagumi sosok Gus Baha’ yang menarik ini,” ujar Prof. Luthfi.
Kagumnya Prof. Luthfi pada Gus Baha’ tidaklah tanpa alasan. Pertama, Gus Baha’ adalah seorang santri Indonesia tulen yang pernah menimba ilmu di pesantren Kiai Nursalim al-Hafizh dan Pondok Sarang Kiai Maimun Zubair.
Kedua, Gus Baha’ bukan hanya hafidz Quran, tetapi juga memiliki pemahaman mendalam terhadap tafsir dan seluruh aspek hukum dalam Al-Quran.
“Beliau mampu menggali dan menjelaskan dengan mudah dan jelas,” tambahnya.
Keahlian Gus Baha’ dalam menjelaskan detail-detail hukum dalam Al-Quran dan kitab kuning membuatnya dihormati dan dikagumi oleh tokoh mufassir Indonesia seperti Prof. Quraish Shihab.
“Beliau adalah seorang ahli tafsir yang menguasai detail-detail hukum dalam Al-Quran dan kitab kuning. Bahkan, beliau hafal kitab ianatut tholibin, sedangkan kita yang mengaku pandai, padahal Arbain Nabawi saja tidak hafal,” tegasnya.
Prof. Luthfi juga mencatat bahwa Gus Baha’ memiliki peran penting dalam memberikan pendekatan yang produktif dalam membaca kitab kuning.
Gus Baha’ menempatkan tulisan para ulama dalam kitab kuning sebagai hasil ijtihad yang sangat dipengaruhi oleh konteks situasional, zaman, dan waktu ketika fatwa tersebut dikeluarkan.
“Oleh karena itu, penting bagi kita untuk membaca kitab kuning dengan kritis dan memahami kronologi serta konteks historisnya,” paparnya.
Dia mencontohkan, KH Hasyim Asyari misalnya memberi fatwa memakai jas haram, maka harus difahami konteknya seperti apa. “Maka tanpa melihat kontek historis dan sosiologis akan terjebak kesalahan memahami fatwa itu,” ujarnya.
Maka Gus Baha menawarkan beberapa alternatif yang harus dikuasai Kang Santri. Yakni, santri harus melakukan banyak hal.
“Jadi santri harus ngaji tenanan. Jangan bab nikah dan thiharoh saja,” tandasnya.
Kata Gus Baha seorang santri harus memahami fikih sepaham pahamnya. Karena fikih melahirkan kecerdasan.
Misalnya kenapa dalam kitab Imam Syafi’i, kalau wanita melahirkan itu wajib mandi? Kalau dicari al quran dan hadist tidak ketemu. Apa alasannya? Pada kitab kuning sebab mandi itu salah satunya karena keluar atau inzal mani/sperma.
“Maka kemudian alasan karena anak yang dilahirkan sebenarnya juga mani, cuma sudah mengkristal. Artinya kajian fikih detail akan melahirkan kecerdasan atau alfatonah,” sebutnya.
Oleh karena itu, dia menekankan pentingnya membaca kitab kuning dengan kritis dan memahami kronologi serta konteks historisnya.
“Kata Gus Baha, fikih itu harus dinamis maka harus dilihat kontek historisnya,” tandasnya.
Seperti Gus Baha menyebut Al Maal Al Zakawi, pengembangan harta yang dizakat. Berdasarkan keumuman dalam surat Al Baqoroh ayat 267.
Maka seluruh profesi apapun yang mendapatkan hasil dan seluruh tanaman mendatangkan hasil itu dikeluarkan zakatnya.
“Ini adalah cara Gus Baha’ mengkontekstualisasikan kitab kuning sembari dengan relevansinya dalam kondisi sekarang,” pungkas Prof. Luthfi. (mas)