PONOROGO, (MP) – Di Kabupaten Ponorogo, yang terdapat satu cerita turun temurun mengenai perseteruan antara Desa Mirah dan Desa Golan akibat dari konflik masa lampau yang tidak ada ujung penyelesaiannya hingga saat ini.
Realitasnya berdasarkan letak geografis, kedua desa tersebut berada di kawasan yang sama, hanya dipisahkan oleh aliran sungai.
Namun masyarakat di kedua desa tidak pernah bahkan tidak berani untuk melakukan kontak sosial seperti melakukan kegiatan yang sama dalam satu lokasi ataupun melakukan kerjasama antar dua desa.
Uniknya, layaknya sebuah konflik yang pada umumnya berakhir dengan kekerasan berbanding terbalik dengan keadaan Desa Mirah dan Desa Golan yang diharuskan untuk berseteru demi menjaga tradisi leluhur yang telah diwariskan kepada kedua desa tersebut.
Dari cerita Desa Mirah dan Desa Golan terdapat suatu nilai yang tidak hanya berkaitan dengan sejarah, namun ada juga nilai positif yang bisa dijadikan untuk memperluas khasanah kehidupan.
Salah satunya yaitu nilai ketangguhan yang melekat pada diri Ki Honggolono. Nilai ketangguhan Ki Honggolono baiknya dikaji lebih lanjut agar dapat diteladani oleh generasi muda yang saat ini krisis akan ketangguhan, seringkali mudah menyerah, dan takut menerima tantangan.
Generasi muda sekarang dianggap kurang motivasi. Generasi sebelumnya sering memandang kalau anak muda zaman sekarang adalah generasi yang manja, mudah menyerah, sering galau, gampang terpengaruh lingkungan.
Hal tersebut yang melatarbelakangi ketiga mahasiswa Universitas Airlangga (M. Afif Ma’ruf, Rerica Dhea Shavila, dan Aisyah Nusa Ramadhana) mengambil topik penelitian dengan judul “Eksplorasi Nilai Ketangguhan Ki Honggolono dalam Sejarah Perseteruan Desa Mirah dan Desa Golan di Kabupaten Ponorogo”.
Proposal penelitian mereka berhasil lolos hibah Kemristekdikti dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) tahun 2018. Penelitian tersebut dilakukan selama 4 bulan yaitu dari bulan Maret hingga Juni 2018, tepatnya di Desa Mirah dan Desa Golan Kabupaten Ponorogo.
Dari watak Ki Honggolono yang sakti dan tangguh, dapat diambil nilai positif terutama pada wataknya yang tangguh.
Setelah dianalisis, ketangguhan Ki Honggolono ini terdiri dari tiga komponen yaitu komitmen, kontrol, dan tantangan.
Komitmen dapat dilihat dari sikap Ki Honggolono dalam sejarah perseteruan Desa Mirah dan Desa Golan ketika anaknya si Joko Lancur meminta untuk dilamarkan Dewi Amirah.
Awalnya Ki Honggolono tidak setuju, namun demi menuruti permintaan anaknya akhirnya beliau setuju dan berkomitmen untuk melamar Dewi Amirah untuk Joko Lancur.
Serta ketika Ki Ageng Mirah memberikan persyaratan kepada Ki Honggolono, beliau yang awalnya keberatan akhirnya setuju dan berkomitmen untuk memenuhi persyaratan tersebut.
Komponen berikutnya yaitu kontrol terdapat pada diri Ki Honggolono yang merupakan panutan dari murid-muridnya.
Beliau juga merupakan seorang kepala desa sehingga masyarakat amatlah segan terhadapnya. Dapat dilihat ketika kejadian pasca perang antara Desa Golan dan Desa Mirah karena batalnya pernikahan Joko Lancur dan Dewi Amirah, Ki Honggolono bersabda pada masyarakat Desa Golan dan Desa Mirah yang masih tersisa.
Yang mana sabda dari Ki Honggolono tersebut masih dipercaya oleh masyarakat Desa Golan dan Desa Mirah pada khususnya, dan masyarakat Ponorogo pada umumnya.
Sabda Ki Honggolono : (1) Wong-wong Golan lan wong Mirah turun-tumurun ora oleh ngenekake mantu. (2) Barang utowo isen – isene ndonyo soko deso Golan kang awujud kayu, watu, banyu lan sapanunggalane ora biso digowo menyang deso Mirah (3) Barang-barange wong Golan lan deso Mirah ora biso diwor dadi siji (4) Wong Golan ora oleh gawe iyup-iyup soko kawul. (5) Wong Mirah ora oleh nandur, nyimpen, lan gawe panganan soko dele.
Lain dari kelima sabda tersebut diatas, Ki Ageng Honggolono juga menambahkan sabdanya yaitu “Sing sopo wonge nglanggar aturan iki bakal ciloko”.
Pada komponen tantangan, jelas sangat mencerminkan sifat dari Ki Honggolono. Dapat dilihat dari hal yang melatarbelakangi perseteruan Desa Mirah dan Golan yaitu keinginan Joko Lancur untuk menikah dengan Dewi Amirah, anak dari Ki Ageng Mirah.
Yang mana Ki Honggolono harus mengabulkan syarat yang diajukan oleh Ki Ageng Mirah terlebih dahulu. Ketika Ki Honggolono tidak menyetujui anaknya menikah dengan anak Ki Ageng Mirah, maka Joko Lancur berniat untuk bunuh diri.
Sebaliknya ketika Ki Honggolono merestui anaknya menjadi suami dari Dewi Amirah, maka Joko Lancur akan bahagia tak terhingga.
Meskipun awalnya keberatan, namun Ki Honggolono tidak menjadikan syarat-syarat pernikahan tersebut sebagai penghalang dalam membahagiakan anaknya, justru syarat-syarat tersebut dianggapnya sebuah tantangan agar anaknya mampu menjalani kehidupan yang lebih baik dengan Dewi Amirah.
Terdapat saran bagi masyarakat umum dan generasi muda khususnya agar dapat mengadopsi nilai ketangguhan yang ada di dalam diri Ki Honggolono, agar dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, serta agar masyarakat dan generasi muda tetap tangguh dan pantang menyerah dalam menghadapi tantangan yang ada.
Rekomendasi tersebut telah kami sampaikan pada agenda seminar yang diadakan di Desa Mirah dan Desa Golan pada tanggal 20 Mei 2018 lalu.
Seminar tersebut dihadiri oleh perwakilan perangkat desa dan karang taruna. Tujuannya untuk memberikan wawasan baru terkait nilai ketangguhan Ki Honggolono dalam sejarah perseteruan Desa Mirah dan Desa Golan agar dapat diteladani oleh generasi muda di Desa Mirah dan Desa Golan pada khususnya, dan masyarakat pada umumnya.
Kegiatan seminar tersebut mendapatkan respon positif dari perwakilan karang taruna di Desa Mirah, mas Rahmat.
Yakni dengan adanya seminar tersebut mampu mendukung karang taruna di kedua desa agar pola pikirnya berubah.
Yang awalnya masih mempunyai pikiran kuno bahwa Desa Mirah dan Desa Golan tidak bisa bersatu, menjadi mempunyai pikiran terbuka yakni kedua desa ini bisa saling bekerja sama untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Serta agar dapat meneladani watak positif dari Ki Honggolono, terutama pada watak ketangguhannya. (ist)