PONOROGO – Gadung merupakan tanaman umbi-umbian yang cukup populer namun kurang mendapat perhatian.
Bagi kebanyakan masyarakat, Gadung hanya dimanfaatkan sebagai camilan biasa.
Namun di tangan tiga mahasiswi IAIN Ponorogo, gadung diteliti dan diolah menjadi sesuatu yang memiliki ekonomis tinggi.
Gadung yang memiliki nama latin dioscorea hispida ini oleh mahasiswi Jurusan Tadris Ilmu Pengetahuan Alam IAIN Ponorogo dijadikan filler atau bahan pengisi bakso yang mempunyai kandungan dengan kualitas terbaik.
Inovasi ini mampu mengantarkan mereka menyabet medali perunggu karya inovatif beregu tingkat se Jawa Madura.
Yakni dalam event Invitasi Pekan Pengembangan Bakat dan Minat Mahasiswa (IPPBMM) VIII yang digelar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Prestasi itu dipersembahkan oleh Eni Lestari (21), Alda Maudlidya Anindita (22) dan Alfia Nurul Badi’ah (21).
Yakni lewat sebuah karya berjudul, Sodida (Bakso Dioscorea Hispida) : optimalisasi bahan pangan lokal sebagai upaya generasi muda peduli potensi alam di Kabupaten Wonogiri.
Hebatnya, ketiganya mampu menggeser berbagai peserta dari IAIN dan UIN se Jawa-Madura.
Eni Lestari salah satu mahasiswi mengatakan, karya inovasinya ini berawal dari melimpahnya umbi-umbian di Purwantoro. Salah satunya gadung.
Selain itu, di Wonogiri adalah kabupaten yang terkenal akan baksonya.
“Selama ini gadung dalam pengolahannya masih monoton berupa keripik yang kurang sedap,” ungkapnya.
Melihat kondisi tersebut, ketiganya terinspirasi mengolah umbi gadung dimanfaatkan sebagai filler pengganti sagu dalam bakso.
Bakso filler gadung ini, kata Eni memiliki kandungan gizi dan serat yang tidak dimiliki bakso pada umumnya.
Bukan perkara mudah bagi ketiganya untuk meyakinkan dewan juri.
Bahkan, mendukung penelitiannya ia sempat melakukan uji lab di UGM untuk membandingkan bahan sagu versus gadung.
“Sagu memiliki serat 0.18 persen per 100 gram sedangkan bakso gadung 0.39 persen per 100 gram,” sebutnya.
Selain tinggi serat, gadung juga memiliki kandungan karbohidrat dan protein serta lemak yang standar SNI.
“Memang protein kurang sedikit. Jadi itu yang akan kami tingkatkan ketika produksi massal nantinya,” sebutnya.
Filler gadung inovasinya ini juga memiliki keunggulan harganya yang terjangkau. “Kami tidak beli karena banyak tersedia di sekitar kita,” ungkapnya.
Inovasi ini juga sempat melalui uji organik lab kepada 20 orang. Rinciannya 8 orang warga kecamatan Babadan Kabupaten Ponorogo dan 12 orang warga Kecamatan Purwantoro Kabupaten Wonogiri.
Ketiganya juga sempat mengalami kendala dalam mengumpulkan orang karena pandemi. Apalagi, pandemi juga sempat membuat pelaksanaan lomba tertunda.
“Alhamdulillah kerja keras itu membuahkan hasil dengan mendapat medali perunggu. Prestasi ini membuat kami lebih bersemangat lagi. Utamanya memanfaatkan potensi alam secara optimal agar terangkat potensinya,” sebutnya.
Sementara itu, di event yang sama mahasiswa IAIN Ponorogo juga panen juara. Diantaranya, meraih medali perak Musabaqah Syarhil Qur’an.
Prestasi ini dipersembahkan Tim IAIN Ponorogo MSQ. Mereka adalah Purwitasari, Tadris Bahasa Inggris (21), Alif Qurrotin Nuriana, Pendidikan Agama Islam (20) dan Rita Sugiarti, Pendidikan Agama Islam (21).
Disamping itu, mahasiswa IAIN Ponorogo juga mendapat juara 3 cabang Lomba Dai-Daiyah.
Medali perunggu ini disabet oleh Azizah Kurniawaty jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (21).
Prestasi ini mendapat support Dr. Aksin Wijaya selaku Wakil Rektir 3 Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama IAIN Ponorogo.
Menurutnya, prestasi ini menjadi bukti bahwa mahasiswa-mahasiswi IAIN Ponorogo punya potensi baik bakat minat maupun keilmuan.
“Kami tidak banyak mengirim peserta dalam lomba ini, tapi dengan 3 peserta yang dapat juara ini setidaknya membuktikan kami punya potensi ke sana,” ungkapnya.
Ke depan, pihaknya bakal memaksimalkan prestasi dengan pembinaan yang berkelanjutan. Yakni dengan program jemput bola.
“Pembinaan dimulai dengan jemput bola kepada siswa SMP/MTs, dan SMA/MA. Kami cari bibit unggul kemudian ditarik kuliah di IAIN Ponorogo. Sehingga ketika kuliah tinggal mematangkan sampai berprestasi,” pungkasnya. (mas)