Tahun 2025 menjadi fase penting bagi pendidikan di Kabupaten Ponorogo. Di tengah komitmen nasional terhadap pendidikan yang berkualitas, efisien, dan merata, realitas di tingkat daerah menunjukkan dinamika yang kompleks.
Pendidikan tidak hanya dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, tetapi juga oleh partisipasi masyarakat, kondisi ekonomi, stabilitas regulasi, serta relasi antara guru, orang tua, dan aparat penegak hukum.
Dalam konteks inilah, Ponorogo menghadapi tantangan struktural sekaligus peluang untuk melakukan pembenahan yang lebih sistematis menuju tahun 2026.
Catatan Pendidikan Ponorogo 2025: Perspektif Partisipasi Masyarakat
1. Sumbangan Orang Tua dan Multitafsir Regulasi
Salah satu isu paling krusial sepanjang 2025 adalah persoalan sumbangan orang tua yang tidak kunjung menemukan titik temu. Regulasi yang multitafsir antara sumbangan dan pungutan menimbulkan kegamangan di tingkat satuan pendidikan. Sekolah berada pada posisi dilematis: di satu sisi harus memenuhi kebutuhan operasional dan peningkatan mutu, di sisi lain dibayangi risiko hukum. Kondisi ini diperparah oleh situasi keuangan negara yang terbatas serta daya beli masyarakat yang menurun. Akibatnya, partisipasi masyarakat yang seharusnya menjadi kekuatan justru sering berubah menjadi sumber konflik dan kecurigaan.
Anggota Dewan Pendidikan Ponorogo, Dr. H. Dollar Yuwono, M.Pd, menegaskan bahwa persoalan sumbangan tidak bisa dilepaskan dari peran pemerintah daerah.
Menurutnya, apabila pemerintah belum mampu memberikan kontribusi yang memadai, maka perlu ada langkah serius bersama Dinas Pendidikan untuk melakukan pemetaan masalah secara komprehensif, termasuk kebutuhan riil sekolah, pemanfaatan Dana BOS, serta peningkatan kualitas guru sebagai deep learner dalam proses pembelajaran.
Dr. Jauhan Budiwan, M.Ag menegaskan bahwa sumbangan tetap boleh dilakukan, dengan catatan transparansi penggunaan dan mekanisme yang jelas serta disepakati bersama.
Drs. H. Trisetyo Miseno, M.Pd melihat problem pendidikan lebih banyak bersifat politis, terutama pada narasi pendidikan gratis yang sering tidak diikuti oleh kesiapan anggaran dan kebijakan teknis.
Farida Nuraini, S.Sos., MM menekankan bahwa secara terminologis dan regulatif, Dewan Pendidikan menggunakan istilah “sumbangan”, bukan pungutan, sehingga perlu edukasi publik agar tidak terjadi kesalahpahaman berulang.
2. Dana BOS dan Kualitas Pembelajaran
Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) hingga kini masih menjadi tulang punggung pembiayaan pendidikan dasar dan menengah di Indonesia.
Keberadaan Dana BOS berperan penting dalam menjamin keberlangsungan operasional sekolah, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan dasar pembelajaran.
Namun demikian, keterbatasan alokasi Dana BOS sering kali belum mampu menjawab seluruh kebutuhan riil sekolah, baik dari sisi peningkatan kualitas sarana-prasarana maupun pengembangan mutu pembelajaran.
Kondisi ini menyebabkan peran serta masyarakat tetap dibutuhkan sebagai bagian dari ekosistem pendidikan, meskipun dalam praktiknya sering muncul persoalan akibat peraturan yang multitafsir serta lemahnya komunikasi antara sekolah dan orang tua.
Permasalahan tersebut semakin kompleks ketika transparansi dan akuntabilitas pengelolaan Dana BOS belum sepenuhnya dipahami oleh semua pihak.
Dalam konteks ini, Dewan Pendidikan seharusnya diposisikan tidak hanya sebagai pihak yang merespons konflik, tetapi sebagai lembaga yang secara aktif memantau proses pembelajaran di satuan pendidikan.
Pemantauan tersebut meliputi efektivitas pemanfaatan Dana BOS, mutu proses belajar-mengajar, serta penguatan pendidikan karakter siswa sebagai pilar utama dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas, efisien, dan berkeadilan.
3. Relasi Guru, Orang Tua, dan Aparat Hukum
Sepanjang tahun 2025, relasi antara guru, orang tua, dan aparat hukum masih menunjukkan bias dan kerap berada dalam situasi yang kurang kondusif dalam Pendidikan.
Pelaporan persoalan pendidikan ke ranah hukum sering dilakukan secara tergesa-gesa tanpa mempertimbangkan perspektif pedagogis secara komprehensif.
Kondisi ini menimbulkan rasa takut dan kecemasan di kalangan guru dalam menjalankan fungsi pendidikannya, sehingga berdampak pada melemahnya otoritas moral dan profesional guru dalam proses pembentukan karakter peserta didik.
Implikasi lebih jauh dari relasi yang tidak sehat ini adalah tereduksinya makna pendidikan karakter yang sejatinya menjadi ruh utama pendidikan.
Guru cenderung bersikap defensif demi menghindari risiko hukum, orang tua menjadi reaktif dalam menyikapi persoalan anak, sementara aparat hukum kerap masuk ke wilayah yang seharusnya dapat diselesaikan melalui mekanisme edukatif dan dialogis.
Akibatnya, arah pembinaan karakter siswa menjadi bias, tidak konsisten, dan kehilangan pijakan nilai yang semestinya dibangun melalui sinergi dan kepercayaan antar pemangku kepentingan pendidikan.
Harapan dan Agenda Pendidikan Ponorogo 2026
Memasuki tahun 2026, pendidikan Ponorogo membutuhkan langkah strategis yang lebih terkoordinasi dan berorientasi solusi. Salah satu kunci utamanya adalah penguatan peran Dewan Pendidikan Ponorogo melalui koordinasi yang lebih intensif dengan Bupati dan pemangku kebijakan daerah.
1. Penegasan Fungsi Strategis Dewan Pendidikan
Penegasan fungsi strategis Dewan Pendidikan menjadi kebutuhan mendesak dalam upaya memperkuat tata kelola pendidikan yang partisipatif, transparan, dan akuntabel.
Dewan Pendidikan perlu ditegaskan kembali perannya sebagai pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam proses perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan pendidikan daerah, sehingga setiap kebijakan yang diambil berbasis kebutuhan riil masyarakat dan berorientasi pada peningkatan mutu layanan pendidikan.
Selain itu, Dewan Pendidikan juga berfungsi sebagai pendukung (supporting agency), baik melalui kontribusi pemikiran, mobilisasi sumber daya, maupun penguatan jejaring kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk dunia usaha, masyarakat sipil, dan lembaga pendidikan.
Di samping itu, Dewan Pendidikan memiliki peran strategis sebagai pengontrol (controlling agency) yang memastikan penyelenggaraan pendidikan berjalan secara transparan, akuntabel, dan sesuai dengan regulasi yang berlaku, termasuk dalam aspek perencanaan, penganggaran, dan evaluasi hasil pendidikan.
Lebih jauh, Dewan Pendidikan juga berfungsi sebagai mediator yang menjembatani kepentingan pemerintah daerah (eksekutif) dan DPRD (legislatif) dalam membahas isu-isu strategis pendidikan, sehingga tercipta sinergi kebijakan yang konstruktif dan berkelanjutan.
Ke depan, penguatan kapasitas kelembagaan, kejelasan kewenangan, serta dukungan regulasi yang memadai menjadi prasyarat utama agar Dewan Pendidikan mampu menjalankan fungsi strategisnya secara optimal dan berdampak nyata bagi peningkatan kualitas pendidikan daerah.
2. Advokasi dan Edukasi Masyarakat
Tahun 2026 diharapkan menjadi momentum penguatan advokasi dan edukasi masyarakat di bidang pendidikan melalui langkah-langkah strategis yang terencana dan berkelanjutan.
Salah satu fokus utama adalah pelatihan bagi kepala sekolah dan guru, termasuk melalui program Pengembangan Keprofesian Guru (PKG), guna meningkatkan kapasitas kepemimpinan, profesionalisme pendidik, serta pemahaman terhadap tata kelola pendidikan yang transparan dan akuntabel.
Di samping itu, edukasi publik mengenai sumbangan pendidikan, kerangka regulasi yang berlaku, serta prinsip akuntabilitas perlu diperluas agar masyarakat memiliki pemahaman yang utuh dan tidak terjadi kesalahpahaman dalam praktik di lapangan.
Penguatan advokasi pendidikan juga menuntut adanya koordinasi yang lebih intensif dan sinergis antara sekolah, komite sekolah, pemangku kepentingan pendidikan, serta lembaga legislatif daerah, khususnya DPRD melalui Komisi D.
Kolaborasi ini penting untuk memastikan setiap persoalan pendidikan dapat diidentifikasi sejak dini dan direspons secara cepat, proporsional, dan solutif.
Dengan mekanisme komunikasi dan koordinasi yang efektif, diharapkan kebijakan dan praktik pendidikan di daerah dapat berjalan lebih adil, efisien, serta berpihak pada kepentingan peserta didik dan masyarakat luas.
Penutup
Refleksi pendidikan Ponorogo 2025 menunjukkan bahwa kualitas pendidikan tidak dapat dilepaskan dari sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga terkait (stakeholder) pendidikan.
Tahun 2026 diharapkan menjadi fase konsolidasi: memperjelas regulasi, memperkuat peran Dewan Pendidikan, serta mengembalikan pendidikan sebagai ruang pembentukan karakter, bukan arena konflik. Dengan koordinasi yang kuat dan partisipasi masyarakat yang sehat, pendidikan Ponorogo dapat bergerak menuju sistem yang lebih adil, berkualitas, dan berkelanjutan.
Ponorogo, 29 Desember 2025












































