Ponorogo – Derasnya arus globalisasi kerap menggiring generasi muda menjauh dari akar budayanya. Tetapi di tengah derasnya arus tersebut masih ada sosok guru yang setia menjaga bara tradisi agar tetap menyala. Sri Wahyuningsih, S.Pd., seorang pendidik dari SMKN 1 Ponorogo yang tak henti menabur semangat inovasi lewat karya-karyanya yang membumi. Pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, melainkan proses membangun karakter, budaya, dan masa depan bangsa.
Sri Wahyuningsih sebagai koordinator inovasi dan kewirausahaan di SMKN 1 Ponorogo menerangkan bahwa inovasi pendidikan tidak selalu identik dengan teknologi tinggi. Ia percaya bahwa akar budaya lokal adalah sumber inspirasi yang tak ternilai bagi proses pembelajaran. Gagasannya terwujud dalam proyek “Nguri-nguri Tradhisi Jawi”, “Makanan Tradisi Tetap Membumi”, bagian dari Pembelajaran Berbasis Proyek yang mengangkat kuliner khas Ponorogo seperti dawet Jabung, sate Ponorogo, dan jenang Sumsum sebagai media belajar kontekstual.
Melalui proyek ini, siswa diajak menelusuri resep tradisional, meneliti nilai filosofis di balik setiap sajian, dan berinovasi menciptakan bentuk baru kuliner lokal agar tetap diminati generasi muda. Inspirasi Sri Wahyuningsih berangkat dari hal sederhana belajar dari dapur budaya: dapur tradisional. Saat banyak orang sibuk berburu teknologi mutakhir untuk memperbarui metode belajar, ia justru mengajak murid-muridnya menengok kembali kearifan lokal.
Namun, bukan sekadar memasak yang diajarkan. Sri Wahyuningsih menanamkan pemahaman bahwa setiap makanan memiliki kisah dan nilai. “Anak-anak harus tahu bahwa kuliner bukan hanya tentang rasa, tapi juga tentang cerita dan jati diri bangsa,” ujarnya sambil tersenyum.
“Saya ingin anak-anak tidak hanya bisa memasak, tetapi memahami makna di balik budaya makan kita,” tutur Sri Wahyuningsih dalam sebuah kesempatan.
Pendekatan ini menjadikan kelas sebagai ruang hidup, tempat pengetahuan, budaya, dan keterampilan kewirausahaan berpadu harmonis.
Dalam setiap kelasnya, ia mengajarkan kolaborasi, tanggung jawab, dan kreativitas. Lewat pendekatan Project-Based Learning (PjBL), para siswa belajar langsung di lapangan, membuat produk, dan mempresentasikannya dalam festival kuliner sekolah. Tak heran jika hasil karya mereka tak hanya memikat guru, tetapi juga masyarakat Ponorogo.
Selain mengangkat tradisi, Sri Wahyuningsih juga aktif mengembangkan inovasi berbasis lingkungan dan ekonomi kreatif. Karyanya yang berjudul “Corn Craft Sandals (CCS)” merupakan pemanfaatan limbah bonggol jagung menjadi bahan sandal ramah lingkungan. Inovasi CCS mengajarkan siswa bahwa kreativitas dan kepedulian terhadap lingkungan bisa berjalan beriringan. Limbah pertanian yang semula tak bernilai kini disulap menjadi produk bernilai ekonomi tinggi.
Ide ini lahir dari kepekaannya terhadap potensi lokal yang sering terabaikan. Bonggol jagung yang biasanya dibuang, diubah menjadi bahan baku sandal ramah lingkungan bernilai jual. Lebih dari sekadar proyek wirausaha, inisiatif ini mengajarkan siswa bagaimana kreativitas bisa lahir dari kepedulian terhadap lingkungan.
Karya tersebut berhasil menarik perhatian dewan juri hingga mengantarkannya ke posisi Top 50 Inovator Pendidikan Jawa Timur. “Saya ingin siswa menyadari bahwa inovasi tidak harus mahal atau rumit. Kadang, yang sederhana justru paling berdampak,” tuturnya rendah hati.
“Saya ingin anak-anak sadar bahwa inovasi bisa lahir dari hal sederhana di sekitar kita,” ujarnya dengan penuh semangat. Baginya, mengajar bukan sekadar menyampaikan materi. Mengajar adalah mencipta, menginspirasi, dan menumbuhkan makna kehidupan dalam setiap langkah belajar. Pandangan itulah yang membawanya menorehkan prestasi gemilang sebagai Top 50 East Java Innovative Education Summit (EJIES) 2025, ajang bergengsi bagi para inovator pendidikan di Jawa Timur.
Sri Wahyuningsih dikenal di sekolahnya sebagai guru yang penuh semangat dan selalu siap terlibat dalam setiap kegiatan pembelajaran berbasis proyek.
Ia percaya bahwa guru bukan hanya pengajar, tetapi juga pelaku budaya yang harus memberi contoh tentang cinta tanah air melalui tindakan nyata. “Saya ingin murid-murid merasa bangga dengan budayanya sendiri. Kalau mereka bangga, mereka pasti mau melestarikan,” katanya.
Ketekunan dan inovasinya membuat Sri Wahyuningsih kerap menjadi panutan bagi rekan-rekan guru. Selain menjadi finalis di tingkat provinsi, ia juga tergabung dalam Tim Inovasi Guru dan Tenaga Kependidikan (IGA) SMKN 1 Ponorogo yang berhasil meraih Predikat Sangat Inovatif melalui karya Saka Guru Literasi (Satu Karya Guru Satu Literasi).
Prestasi ini menunjukkan bahwa semangat kolaborasi bisa mengubah wajah pendidikan. Didukung penuh oleh Kepala SMKN 1 Ponorogo, Katenan, S.Pd., M.MPd., sekolah ini kini dikenal sebagai rumah bagi para inovator muda dan guru kreatif di Jawa Timur.
Bagi Sri Wahyuningsih, inovasi bukan sekadar mengejar penghargaan. Ia percaya inovasi sejati lahir dari niat untuk membuat pendidikan lebih bermakna. Setiap ide yang ia kembangkan selalu berpijak pada nilai kemanusiaan dan kearifan lokal. “Saya hanya ingin anak-anak mencintai tanah kelahiran mereka dan berani bermimpi untuk membangun bangsa,” ujarnya pelan, namun penuh makna.
Kini, langkahnya terus menginspirasi banyak guru di Jawa Timur. Ia membuktikan bahwa inovasi tidak harus datang dari laboratorium canggih, melainkan bisa tumbuh dari dapur sederhana, halaman sekolah, atau bahkan bonggol jagung yang dianggap tak berharga. Karena bagi Sri Wahyuningsih, pendidikan sejati bukan tentang siapa yang paling pintar, tetapi siapa yang paling peduli.