Home Headline Kritik Kekerasan Atas Nama Agama, Dr Aksin Wijaya Raih Juara 2 Riset...

Kritik Kekerasan Atas Nama Agama, Dr Aksin Wijaya Raih Juara 2 Riset Terbaik Nasional

0

PONOROGO – Kampus boleh lokal namun prestasinya menasional. Hal itu dibuktikan Dr. Aksin Wijaya Dosen Pascasarjana IAIN Ponorogo.

Meski mengampu kampus yang berada di kota kecil, namun dosen nyentrik dengan blangkonnya ini membuktikan mampu bersaing dengan dosen kampus kota besar bahkan menjadi yang terbaik.

Hal itu seiring prestasi yang diraih Aksin Wijaya menjadi juara 2 tingkat nasional Penelitian Terbaik Utama dalam gelaran Biannual Conference on Research Result (BCRR) Tahun 2019.

Dia berhasil menggeser peserta PTKIN dan PTKIS dari seluruh Indonesia. Dimana masing-masing kampus mengirimkan lima judul penelitian terbaiknya. Kemudian diseleksi panitia Kemenag terus diuji. Dari itu 25 penelitian terbaik mempresentasikan di ruang publik untuk dipilih 5 terbaik.

“Alhamdulillah penelitian saya meraih juara 2 tingkat nasional,” ungkap Aksin Wijaya, Rabu (25/12/2019).

Pengumuman peraih riset terbaik itu diumumkan pada malam puncak yang diberi judul Malam Anugerah Research Result Award Kementerian Agama RI 2019.

Kompetisi ini digelar Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) Dirjen Pendis Kemenag RI. Kegiatan berlangsung di Auditorium Anwar Musadad UIN Sunan Gunung Djati Bandung 3-5 Desember 2019.

Torehan manis ini diraih Aksin berkat penelitiannya yang berjudul ‘Dari Membela Tuhan ke Membela Manusia (Kritik atas Nalar Agamaisasi Kekerasan)’.

Kepada Ponorogo Pos, Dr. Aksin menjelaskan inti buku karyanya ini adalah bahwa agama itu datang dari Tuhan untuk membela manusia dan kemanusiaan manusia.

Salah kaprah, lanjut Aksin, jika melakukan gerakan demo dengan tujuan membela tuhan. Sebab, agama diturunkan Tuhan untuk membela manusia bukan membela Tuhan.

Dosen yang beralamat di Jalan Brigjend katamso, 64 c, RW/3, RT/4, Kadipaten, Babadan ini menegaskan, Tuhan itu maha kuasa. Aneh jika Tuhan mau dibela manusia. Sebaliknya, manusia itu makhluk lemah. Mungkin satu sisi ada yang kuasa. Terkadang yang kuasa melakukan kekerasan kepada yang lemah.

“Tapi agama Islam itu datang untuk menguatkan yang lemah dan membuat yang kuat itu berlaku adil kepada yang lemah,” tegasnya.

Diceritakannya, buku ini lahir karena adanya gerakan 212 yang selama ini dilakukan sebagian kecil komunitas Islam di Monas.

Mereka mengatasnamakan agama dan membela Islam dan membela Tuhan. Ironisnya, pada saat yang sama menistakan sesama manusia dan kemanusiaan yang berbeda.

“Saya ingin menetralisir itu bahwa Tuhan tidak perlu dibela, agama diturunkan Tuhan untuk membela yang lemah,” tegasnya.

Dalam presentasinya Aksin waktu itu mampu meyakinkan 2 dewanjuri dan satu moderator. Para penguji mengakui tiga keunggulan dari karya Aksin Wijaya.

Mulai metodologi, kebaharuan, dan kemanfaatan. “Ketiganya, menurut juri sesuatu yang spektakuler,” ungkapnya.

“Metodologinya kuat, benar-benar baru atau argumen baru, dan banyak manfaatnya terutama bisa mengurangi kekerasan yang dilakukan atas nama agama,” imbuhnya.

Berkat prestasinya itu, Aksin bersama 5 judul penelitian terbaik utama mendapatkan dana masing-masing Rp 30 Juta. Sedangkan 20 besar peneliti lainnya mendapat dana Rp 15 Juta. “Dana itu digunakan untuk meneliti lagi,” sebutnya.

Pihaknya berharap, kedepan agar kalangan peneliti mulai mengembangkan penelitiannya. Baik agama murni, kepustakaan, lapangan maupun integrasi agama dan sains.

“Sehingga bisa memberikan sumbangsih bagi kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara di Indonesia,” harapnya.

Bukan kali pertama Aksin Wijaya mampu berbicara di tataran nasional. Tercatat sudah 3 kali ia mencatatkan prestasi emasnya. Diantaranya, tahun 2007 meraih tesis terbaik PTKIN Nasional dengan judul “Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan: Kritik atas Nalar Tafsir Gender”.

Selain itu, pada tahun 2015 ia juga menyabet dosen teladan juara nasional. Adapun yang ketiga penelitian terbaik juara 2 nasional. “Jadi tiga kali kompetisi dan tiga kali juara 2 nasional,” sebutnya.

Dosen yang sudah menelurkan 19 buku ini berbagi resep kepada mahasiswa agar berkarya.

“Resepnya, kita harus senang membaca, dan hasil bacaan itu dituangkan dalam tulisan,” ungkapnya.

“Tulisan itu melampau umur penulisnya, kalau mau panjang umur teruslah menulis. Kalau kita sudah tidak ada, tulisan kita akan terus berjalan dikonsumsi masyarakat,” pungkasnya. (as)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here